Saturday, August 30, 2025

Napasku Namamu

Pulau itu sunyi, sunyinya menakutkan. Malam-malam di barak selalu dipenuhi batuk panjang dan derit rantai besi, sementara laut di kejauhan seakan mengurung harapan. 
Aku duduk dekat tungku kecil, menulis diam-diam di kertas bekas semen yang kucuri dari gudang. Api yang meredup menari di mata seorang perempuan muda yang belum tidur: Penny.

“Kau tahu, mereka bisa merampas segalanya,” bisiknya lirih, matanya tajam menatap bara.

“Segalanya?” aku bertanya, suara nyaris tak terdengar.

“Ya,” jawabnya, “tapi tidak napas.”

Ia mengeluarkan secarik kertas kusam, menuliskan sesuatu dengan tergesa, lalu menyodorkannya padaku. Kata-kata di situ menggetarkan tubuhku lebih keras dari dingin malam Buru.

Jika namamu tak ditulis dalam sejarah, maka ibu akan menuliskannya di napas terakhirku.

Aku membaca ulang berkali-kali. Itu bukan sekadar puisi, melainkan sumpah. Penny menatapku, wajahnya berbayang api. 

“Kalau aku hilang, biarlah bait ini tetap bernapas lewatmu.”

Aku tak bisa menjawab selain mengangguk. Tangan ini menyalin kata-katanya ke buku kecilku. Saat itu aku belum tahu, bait itu akan menyeberang puluhan tahun, menembus sejarah yang lebih bising.


Dua puluh enam tahun setelah malam itu, aku berdiri di jalanan Jakarta. Aku sudah bukan tahanan, tapi tetaplah seorang wartawan. Rambut mulai beruban, tapi kaki ini masih mengejar kerumunan mahasiswa.

Bau ban terbakar bercampur gas air mata di Jalan S. Parman. 

“Damai! Kita damai!” teriak seorang mahasiswa, spanduk putih di tangannya bergetar. 

Jawabannya bukan kata, melainkan semburan gas putih yang menyayat mata. Jeritan pecah, tubuh-tubuh muda berjatuhan, jalan raya berubah jadi ruang panik.

Malam itu aku bersembunyi di sebuah kamar kos di Slipi. Ruangan sempit, bau mie instan basi dan asap rokok menempel di dinding. Mahasiswa duduk melingkar, sebagian menangis, sebagian menempelkan telinga ke radio kecil yang menyiarkan kabar: 

Empat mahasiswa gugur di Trisakti.

Tangis meledak.

Di sudut kamar, seorang mahasiswi bernama Thalia berdiri. Wajahnya pucat, suaranya parau, tapi tegas menembus sesak udara. 

Ia mengangkat selembar kertas lusuh, mirip dengan yang pernah Penny sodorkan padaku di Pulau Buru. Dengan gemetar ia mengucapkannya:

“Jika namamu tak ditulis dalam sejarah, maka ibu akan menuliskannya di napas terakhirku.”

Ruangan terdiam. Lalu tangis pecah lebih deras. Seorang mahasiswa mendekatiku, tangannya bergetar, suaranya memohon: 
“Pak, tuliskan nama kami. Jangan biarkan hilang.”

Aku menatap matanya. 
“Kalian sudah menuliskannya,” jawabku, “dengan darah dan keberanian.”

Di luar jendela, Jakarta terbakar. Glodok, Klender, Kalideres. Tapi di kamar sempit itu, bait Penny menemukan tubuh barunya lewat mulut Thalia.


Dan kini, seperempat abad setelah kamar kos Slipi itu, aku kembali berdiri di jalanan. Bukan lagi dengan kartu pers di saku, melainkan dengan dada tua yang masih tersisa untuk menyaksikan.

Jakarta membara lagi. Spanduk merentang, asap hitam menutup langit, sirine meraung tiada henti.

Tiba-tiba raungan mesin lebih nyaring dari segalanya. Sebuah kendaraan baja melaju kencang, membelah massa. Seorang pemuda jatuh, tak sempat bangkit. Roda-roda hitam perkasa itu melindas tubuhnya. Jerit histeris meledak, darah bercampur debu di aspal. 

Seorang perempuan berlutut, mengguncang tubuh yang sudah tak utuh: 
“Bangun! Tolong bangun!”

Aku terpaku. Namun di sekelilingku, ponsel-ponsel sudah terangkat, setiap detik direkam, setiap wajah disiarkan langsung. 
“Ini bukti! Mereka melindas rakyat!” teriak seorang anak muda.

Beberapa menit kemudian, di layar orang lain, video yang sama sudah berubah. Tubuh pemuda itu dihapus dari bingkai, diganti teks tebal: 
“Massa pura-pura jadi korban.”

Aku terdiam. 
Debu masih di udara, darah masih basah di kakiku, tapi di layar, kenyataan sudah dipalsukan.

Kerumunan mulai gaduh. 
Kata “hoaks” dan “propaganda” melayang-layang lebih cepat dari gas air mata. 
Orang saling berteriak, saling membantah, kebenaran diadu dengan kebenaran lain.

Di tengah hiruk pikuk itu, seorang perempuan muda naik ke atas beton pembatas jalan. Debu menutup wajahnya, tapi matanya menyala. 
Ia berteriak sekuat paru-paru, menembus asap, menembus gaduh media sosial:

“Napasku namamu!”

Sejenak semua hening. Lalu ribuan mulut membalas serentak, bagai satu napas besar:

“Napasku namamu!”

Tidak ada filter. Tidak ada potongan. Tidak ada editan.
Hanya suara manusia, dari dada, dari paru-paru, dari napas yang nyata.

Aku merinding. 
Sebab aku tahu: di tengah dunia yang bisa memutarbalikkan segalanya, hanya napas yang tak bisa dipalsukan.


Malam menjelang, letih menjalari seluruh tubuh rentaku, aku pulang. Kutarik laci tuaku, mengeluarkan buku catatan yang kusimpan sejak Pulau Buru. 
Halaman-halamannya sudah kuning, tinta hampir pudar. Tapi bait Penny masih ada.

Aku membacanya keras-keras, untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun:

Napasku Namamu

Jika kau pulang lewat jalan sunyi,
dan tak ada lagi rumah yang menunggumu—
ingatlah, 
aku pernah menunggumu di ujung bait yang tak dibacakan negara.

Jika namamu tak ditulis dalam sejarah,
maka ibu akan menuliskannya
di napas terakhirku.

Air mataku jatuh, menodai halaman rapuh itu.

Aku sadar, aku bukan siapa-siapa. Hanya wartawan tua yang kebetulan terlalu panjang umur. Aku tak bisa menghentikan roda baja, tak bisa memadamkan api, tak bisa menahan banjir kabar palsu. 
Tugasku hanya satu: menyimpan kata, lalu menyerahkannya kepada yang lebih muda.

Mungkin memang itu takdirku, menjadi mata rantai kecil dalam lingkaran yang tak pernah selesai.

Aku menutup buku, menarik napas panjang, lalu berbisik lirih kepada Penny, kepada Thalia, kepada perempuan muda yang berteriak di jalan tadi:

“Sekarang, napasku bukan lagi milikku. Napasku sudah menjadi namamu.”

Dan aku tahu, sejarah tidak pernah berjalan lurus. Ia berputar, melingkar seperti luka yang tak ditebus. 

Darah yang dibiarkan kering akan menetes lagi. 

Nama yang dihapus akan dipanggil lagi. 

Janji yang dilupakan akan digemakan lagi.

Itulah simetri takdir bangsa ini:
Selama luka dibiarkan, waktu akan terus mengulangnya. 

Karena sejarah bukan milik mereka yang hidup, melainkan mereka yang masih menyimpan luka.

hphuta

Pontianak, hari terakhir, bulan kemerdekaan Republik Indonesia 2025


Thursday, February 20, 2014

TAX PLANNING

Perencanaan Pajak (tax planning) dapat didefenisikan sebagai upaya manajemen keuangan untuk meminimalkan biaya pajak dengan merancang investasi, jenis usaha dan sistem pencatatan pendapatan dan biaya mana yang menghasilkan beban pajak yang paling kecil. Tax Planning sering pula disamakan dengan Tax Management atau manajemen pajak yang didefinisikan sebagai sarana memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan (Lumbantoruan,1994)