Thursday, April 26, 2012

The Rider

Hujan deras dan gemuruh petir bertalu-talu ketika para pengendara motor tiba di gerbang desa sore itu, tidak seorangpun yang mengharapkan kehadiran mereka, tidak juga Ahmad yang diduga warga desa sebagai salah seorang yang dianggap terlibat dalam keributan di kota beberapa minggu yang lalu. Tidak ada lagi pintu yang terbuka sekarang, informasi kedatangan para pengendara sudah tersiar sejak pagi hari, bahkan sebelum para nelayan berangkat ke laut.

 
 “Pak RT, tadi Sunyoto datang” Doni bicara setengah berbisik, kemudian menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, takut ada orang lain di sekitar mereka. “Tidak seperti biasanya pak” lanjutnya sambil terus memacu langkah mengikuti pak RT yang memang sedang terburu-buru. “Sepertinya ada masalah dengan Ahmad”. 

 Di luar gemuruh petir tidak mampu menutupi keriuhan huru-hara yang terjadi, sementara petir menyambar, salah seorang pengendara menarik penuh gas motor hitamnya hingga mengularkan suara yang memekik “Bruuuummmmm, bruuuuummmm, …” kendaraan yang terlihat hampir mirip dengan kelelawar hitam yang sudah siap menerkam. 

Ahmad yang baru saja menyelesaikan kuliahnya, kembali kekampung, setelah lebih dari enam tahun dia merantau di kota, dan hampir tidak pernah pulang, kecuali ketika Auli meninggal beberapa tahun yang lalu. Auli, kekasih Ahmad semasa SMA dulu meninggal setelah diperkosa beberapa kali di kamar kosnya sekitar dua tahun yang lalu. Tidak ada berita apapun tentang kejadian itu, tidak dari kepolisian, juga tidak terdengar berita apapun di media massa, kecuali Koran lokal yang mungkin mencari sensasi membuat reportase yang bahkan tidak lengkap tentang kejadian itu, dalam laporanyanya ditulis berbagai kemungkinan atas kematian Auli, hanya berselang beberapa bulan setelah laporan itu dimuat, Koran tersebut menyatakan diri bangkrut, beberapa orang wartawan yang melakukan liputan pun dinyatakan menghilang, setelah membawa kabur uang perusahaan. “

Ya… saya tahu” jawab pak RT dengan suara yang terengah “Pak Kardi tadi subuh ke rumah” sekarang mereka berjalan agak pelan. Tepat di depan rumah Pak RT ada sebuah kursi taman yang terbuat dari anyaman bamboo, mereka duduk dan sambil menghela napas Pak RT menambahkan 

“Tolong nanti siang, tepat sebelum jam makan siang kumpulkan warga di aula desa” 

“siap pak” jawab Doni, 

“tapi alasan mereka berkumpul apa pak?” tambah Doni dengan muka kebingungan. 

“seperti kau tahu Don, aku ini juga bukan warga asli kampung sini” pak RT mulai bercerita “hanya karena kebetulan saya bisa baca dan tulis, maka warga desa sini memohon saya untuk menjadi RT. Awalnya saya tidak menyanggupi, namun karena saya juga butuh kegiatan, ditambah dengan keinginan saya untuk membantu warga kampong sini keluar dari keterpurukan ekonomi pada saat itu” pak RT mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong jaketnya. 

“Kau lihat kebun jagung di depan itu” kata pak lurah sambil menyalakan rokoknya. 

“Waktu saya sampai di kampong ini, semua itu hanya belukar” kemudian dia berdiri, dan melemparkan batang korek api ditangannya. 

“Usahakan…” terbatuk beberapa kali “…usahakan bapak-bapak itu berkumpul di aula” 

“ya pak… tapi alasannya pak” 

“Katakan saja, Pak RT minta diskusi tentang beberapa hal penting terkait keamanan kampong kita” sambil melangkah masuk kepekarangan rumahnya. 

“Ok Don, saya harus di kecamatan sebelum jam 8 pagi” membalikkan badan menghadap jalan, kemudian melangkah beberapa langkah, menutupkan gerbang pagar. 

“Jadi, nanti saya pulang dari kecamatan, langsung ke aula” 

“Tolong di kerjakan” 

“oh ya… pastikan berapa orang yang datang, dan minta bu RT untuk menyiapkan makan siang.” 

“Siap Don” 

“Siap pak, Selamat pagi Pak RT” Doni berdiri termangu, bingung bercampur kaget. Sudah lebih dari dua tahun dia bekerja dengan Pak RT, namun pagi ini adalah pagi yang agak aneh untuk memulai hari. Di awali dengan kedatangan Sunyoto, kemudian langsung dapat perintah-perintah yang agak aneh dari bosnya Pak RT. 

“Selamat pagi Don” 

Pak RT, beliau datang ke kampong ini sekitar 13 tahun yang lalu, hanya tanpa bawa bekal apapun. Dan kampong ini pun belum punya nama saat itu, hanya ada beberapa rumah kayu, 6 atau 8 kalau tidak salah ingat dan sisanya hanya gubuk bamboo. Jarak ke kelurahan hampir dua jam naik sepeda dengan jalan berliku dan berbatu. Tidak jauh dari kampong ini ada sebuah pabrik pengolahan kayu yang sudah ditinggalkan, dan tidak terawat, dan sekali atau dua kali sebulan ada keramaian di bangunan tersebut, yang terkadang membawa malapetaka ke warga kampong, kadang anak-anak muda itu datang mengganggu warga desa dengan kondisi mabuk-mabukan. Pernah hampir terjadi perkelahian, waktu sebuah mobil meluncur dengan kencang ke perkampungan dan melempari rumah-rumah dengan botol-botol minuman keras. Jaka, yang waktu itu baru dua bulan tinggal di rumah Pak RT, dia tidak terima dan meladeni anak-anak itu, dan akhirnya terjadi perkelahian yang tidak seimbang, Jaka yang baru berusia sekitar 15 tahunan babak belur di pukuli, dan ditinggalkan tergeletak di halaman sampai pak RT pulang dari pertemuan di kelurahan. Pada tengah malam, terdengan perkelahian di pabrik itu, tapi tidak lama, kemudian suara kendaraan yang di pacu bergantian melaju kencang menjauh, kemudian sunyi senyap. Kemudian beredar desas-desus bahwa malam itu pak RT mendatangi pabrik tua itu dan anak-anak yang sedang mabuk-mabukan sampai mereka lari terbirit-birit. Sejak saat itu tidak ada lagi keributan di pabrik itu, dan sekarang atas inisiatif Pak RT pabrik tua itu di hidupkan kembali oleh warga dan dijadikan tempat pengolahan pupuk kandang. 

Pak RT dulu dipanggil Bang Doli oleh warga kampong, berperawakan tinggi besar, hampir sebesar pak Murat, salah seorang yang paling dituakan di kampong itu. Bedanya mungkin hanya bentuk muka, Pak Murat mukanya agak bulat seperti semangka,semetara Bang Doli mukanya agak lonjong dengan dagu yang runcing. Perawakannya hampir mirip seperti orang eropa, namun dari kulit dan gaya bicara Doli adalah melayu asli, namun warga desa tidak terlalu peduli. 

Dulu para pria kampong sini adalah nelayan tradisional dan anak-anak serta ibu-ibu adalah petani padi di sawa kering. Mereka menghasilkan beras sendiri dan sayur untuk makan sehari-hari. Dan sebagai lauk adalah dari hasil berburu dan melaut, secara pangan mereka adalah orang-orang makmur, karena tidak kekurangan makan namun secara ekonomi, mereka tidak peduli dengan uang, dan merasa tidak butuh ke sekolah. Bahkan tidak terpikirkan oleh mereka untuk menamai kampong mereka, yang mereka tahu hanya mereka dapat makan, tidur dan tertawa di kala kumpul-kumpul waktu sore hari. Mereka adalah orang-orang yang tidak suka bergaul dengan masyarakat secara umum. Namun ketika musim panen besar selesai, mereka akan belanja besar-besaran ke kecamatan. dan itupun hanya terjadi sekali setahun, mulai dari kebutuhan sandang seperti pakaian, dan kebutuhan pertukangan, jadi tidak bisa dikatakan mereka tertutup ke dunia luar. 

Kondisi itu berubah sejak pabrik pengolahan kayu itu dibangun di tepi sungai, sekitar dua kilometer dari perkampungan. Tidak lama setelah pabrik itu berdiri, terdengan riuh rendah suara mesin-mesin besar yang berdatangan setiap hari, pernah suatu hari ketika tiba saatnya untuk memotong pohon besar di belakang rumah pak Murat sebuah kendaraan besar datang di tengah-tengah perkampungan, besarnya hampir dua kali besarnya dari rumah pak Murat, rumah paling besar di kampong. Hanya butuh waktu sekitar satu jam bagi mesin itu, dan pohon yang berukuran hampir dua meter itu sudah terpotong-potong tanpa harus di robohkan dulu ke tanah. Hanya butuh waktu dua tahunan bagi mesin-mesin untuk memakan habis semua kayu di sekitar kampong waktu itu. 

“Jaka,… saya akan ke kota pagi ini” Doli berkemas dengan sedikit tergesa 

“Siang ini saya ada pertemuan dengan warga desa” sambil mengambil kunci mobil dari atas televise. 

“Saya tidak bisa perkirakan apa yang akan terjadi setelah itu” sambil berjalan 

“Tapi … tolong perseiapkan segala sesuatu” dia membalik badan, dan kini bertatapan dengan Jaka 

“Tadi subuh Nyoto datang, kau tahu apa yang harus di lakukan” kemudian membuka pintu 

“Saya pergi dulu, lakukan apa yang diperlukan” berjalan keluar, sambil memperbaiki kerah jaket. 

Jaka hanya bisa mengangguk dari tadi, sepertinya benar-benar paham apa yang sedang terjadi. Kemudian sepeninggalan Doli, Jaka sibuk melakukan panggilan telepon, ada enam atau delapan kali “Halo… dengan Jack, ……” semua pembicaraan sama. Kemudian turun naik tangga sambil membawa kotak-kotak panjang warna merah kecoklatan. Dan menyusunya dengan rapai di lantai, dekat meja kerja Doli. ada sembilan kotak, dan yang terakhir, kotak warna hitam, sepertinya lebih berat dari kotak yang lain, karena Jaka harus menggunakan pundaknya untuk mengangkat kotak tersebut, kemudian diletakkan diatas meja kerja Doli. (bersambung...)

1 comment:

Anonymous said...

nice